Sabtu, 10 Desember 2011

kawasan desain


Desain adalah proses untuk menentukan kondisi belajar. Tujuan desain adalah untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat makro seperti program dan kurikulum, pada tingkat mikro seperti pelajaran dan modul. Defenisi ini sesuai dengan defenisi desain sekarang yang mengacu pada tujuan spesifikasi. Berbeda dengan defenisi dahulu yang lebih menekankan pada kondisi belajar bukan pada komponen-komponen dalam suatu sistem pendidikan/pembelajaran.
Kawasan desain paling tidak mencakupi 4 cakupan utama dari teori dan praktek yaitu
·         Desain sistem pembelajaran
 Yaitu: Prosedur yang terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisaan, perancangan, pengembangan, pengaplikasian, dan penilaian pembelajaran.
·         Desain pesan
Yaitu: meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan yang mencakup prinsip-prinsip, perhatian, persepsi dan daya serap.
·         Strategi pembelajaran
Suatu spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan pembelajaran dam suatu pelajaran.
·         Karateristik pelajar
Segi-segi latar belakang pengalaman pelajar yang bebrpengaruh terhadap efektifitas proses belajarnya.
2. kawasan Pengembangan
Kawasan pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain kedalam bentuk fisik. Dalam kawasan pengembangan terdapat keterkaitan yang kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong, baik desain pesan maupun strategi pembelajaran dapat dijelaskan dengan adanya:
·         Pesan yang didorong oleh isi
·         Strategi pembelajaran yang didorong oleh teori
·         Manifestasi fisik dari teknologi perangkat keras, perangkat lunak dan bahan pembelajaran



Kawasan pengembangan dapat diorganisasikan dalam 4 kategori yaitu:
·         Teknologi cetak
Yaitu: cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan, seperti buku-buku dan bahan-bahan fisual yang statis. Terutama melalui proses percetakan mekanis atau fotografis.
·         Teknologi audio visual
Yaitu: cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan mekanis dan elektronis untuk menyampaikan pesan-pesan audio visual
·         Teknologi berbasis computer
Yaitu: cara-cara mmemproduksi dan menyampaikan bahan-bahan dengan menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor
·         Teknologi terpadu
Yaitu: cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan computer.
3. kawasan Pemanfaatan
Kawasan ini merupakan kawasan teknologi pendidikan yang tertua diantara kawasan-kawasan yang lain, karena pengunaan bahan audio visual secara teratur mendahului meluasnya perhatian terhadap desain dan produksi pembelajaran sistematis. Kawasan ini digolongkan pada 4 kategori yaitu:
·         Pemanfaatan media
Yaitu: penggunaan yang sistematis dari sumber untuk belajar yang merupakan proses pengambilan keputusan berdasarkan spesifikasi pembelajaran.
·         Difusi inovasi
Yaitu: proses berkomunikasi melalui strategi yang terencana dengan tujuan untuk diadopsi
·         Implementasi dan penggunaan bahan dan strategi pembelajaran dalam keadaan sesungguhnya (bukan tersimulasikan)
yaitu: pelembagaan yang merupakan penggunaan yang rutin dan pelestarian dari inovasi pembelajaran dalam suatu struktur atau budaya organisasi
·         Kebijakan dan regulasi
Yaitu: aturan dan tindakan dari masyarakat (wakilnya) yang mempengaruhi difusi atau penyebaran dan penggunaan teknnologi pembelajaran
4. Kawasan Pengelolaan
Merupakan bagian integral dalam bidang teknologi pendidikan dan dari pesan kebanyakan para teknolog pendidikan atau pengajaran. Pengelolaan meliputi pengendalian teknologi pembelajaran melalui perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinisasian, dan superfisi secara singkat. Ada 4 kategori dalam kawasan pengelolaan yaitu:
·         Pengelolaan proyek
Yaitu: meliputi perencanaan, monitoring dan pengendalian proyek, desain dan pengembangan.
·         Pengelolaan sumber
Yaitu: mencakup perecanaan, pemantauan, dan pengendalian sistem pendukung dan pelayanan sumber. Pelayanan sumber sangat penting artinya karena mengatur pengendalian akses
·         Pengelolaan sistem penyampaian
Yaitu: meliputi perencanaan, pemanatauan, pengendalia “cara bagaimana distribusi bahan diorganosasikan
·         Pengelolaan informasi
Yaitu: meliputi perencanaan, pemantauan, dan pengendalian cara penyimpanan, pengiriman atau pemindahan atau pemrosesan informasi dalam rangka tersdianya sumber untuk kegiatan pembelajaran.


4. kawasan penilaian
Penilaian dalam arti paling luas yaitu aktifitas manusia sehari-hari dalam pendidikan dalam pendidikan formal, banyak diantaranya yang didanai oleh pemerintah federal menuntut perlunya program penilaian yang bersifat formal pula. Berikut defenisi dari jenis-jenis penilaian:
1.      Penilaian program
Yaitu: evaluasi yang menaksir kegiatan pendidikan yang memberikan pelayanan secara berkesinambungan dan sering terlibat dalam penyususnan kurikulum
2.      Penilaian proyek
Yaitu: evaluasi untuk menaksir kegiatan yang dibiayai secara khusus guna menentukan tugas tertentu dalam suatu kurun waktu.
3.      Penilaian bahan (produk pembelajaran)
Yaitu: evaluasi yang menaksi kebaikan atau manfaat isi yang menyangkut benda-benda fisik termasuk buku, pedoman kurikulu, film, pita rekaman, dan produk pembbelajaran lainnya yang dapat dipegang. Dalam kawasan penilaian terdapat 4 subkawasan yaitu:
·         Analisis masalah
Yaitu: mencakup segala penentuan sifat dan parameter masalah dengan nmenggunakan strategi pengumpilan informasi dan pengambilan keputusan analisis masalah diadakan untuk perencanaan program yang lebih memadai.
·         Pengukuran acuan patokan
Yaitu: meliputi teknik-teknik untuk mementukan kemampuan pelajar meguasai materi yang telah ditentukan sebelumnya. PAP memberikan informasi tentang penguasaan seseorang mengenai pengetahuan, sikap, atau keterampilan yang berkaitan dengan tujuan.
·         Penilaian sumatif dan formatif
ü  Penilaian formatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan dan penggunaan informasi ini sebagai dasar pengembangan selanjutnya. Penilaian formatif dilaksanakan pada waktu pengembangan atau perbaikan program atau produk.
ü  Penilaian sumatif berkaitan dengan pengumpuulan informasi tentang kecukupan untuk pengambilan keputusan dalam hal pemanfaatan. Penilaian sumatif dilaksanakan setelah selesai dan bagi kepentingan pihak luar atau pengambil keputusan.
Contohnya: apabila juru masak mencicipi sup maka hal tersebut adalah sumatif, namun apabila para tamu yang menncicipi sup tersebut maka hal tersebut adalah sumatif.
Contohnya : lembaga penyumbang dana, atau calon pengguna walaupun hal tersebut dapat dilaksanakan baik oleh evaluator luar dilibatkan dari pada sekedar penilaian formatif.

Selasa, 06 Desember 2011

UU BHP: Menuju Pendidikan Nirlaba Yang Profesional


Pendidikan memiliki peran amat penting untuk membangun peradaban bangsa sebesar Indonesia. Pendidikan merupakan sarana efektif untuk meningkatkan kecerdasan warga negara dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan umat manusia. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Agar bangsa ini mampu bersaing dalam percaturan global dan mencapai kemandirian di masa mendatang, pemerintah harus memiliki kemauan politik (political will) yang kuat dalam melakukan reformasi pengelolaan pendidikan. Keberhasilan reformasi dalam pengelolan pendidikan secara nasional diharapkan akan mampu mendorong keberhasilan reformasi di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Karena melalui pengelolaan pendidikan yang bermutu dan berkualitas akan lahir sumber daya manusia yang unggul dan siap berkompetisi.
Upaya reformasi sistem pendidikan tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan sekehandak selera hati. Melainkan harus berpedoman pada seperangkat aturan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan yang jelas (rule & regulation), yang dirancang berdasarkan pendekatan sistemik dan kesadaran rasional demi kebaikan serta kepentingan orang banyak. Kita pun mesti tetap berpegang pada prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam konteks pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang telah disahkan pada Sidang Paripurna DPR RI hari Rabu 17 Desember 2008, upaya melakukan reformasi pengelolaan pendidikan tersebut mesti didasarkan pada dua buah pertanyaan penting yang menjadi roh RUU BHP. Pertama, Badan Hukum Pendidikan seperti apakah yang kita butuhkan, bukan sekadar yang kita inginkan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak Indonesia? Kedua, desain sistem pengelolaan pendidikan seperti apakah yang hendak kita wujudkan untuk menunjang efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikian dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membagun manusia seutuhnya?
Nirlaba dan Profesional
Ada dua poin mendasar yang perlu dipahami dari muatan UU BHP ini dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, yakni BHP adalah badan NIRLABA yang PROFESIONAL.
Dikatakan nirlaba, karena dalam UU BHP terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: pertama, BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan (pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatannya, maka keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan (pasal 37 ayat 6, pasal 38 ayat 3, pasal 42 ayat 6).
Kedua, BHP menjamin dan membantu kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi (pasal 40 ayat 3). Bahkan, BHP menanggung seluruh biaya pendidikan dasar tingkat SD/MI dan SMP/MTS yang diselenggarakan oleh pemerintah (pasal 41 ayat 1). Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, BHP menyediakan paling sedikit 20 persen peserta didik mendapatkan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu secara ekonomi (pasal 46 ayat 2).
Ketiga, dalam UU BHP ada ketentuan bahwa BHP wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik (pasal 46 ayat 1 dan 2).
Keempat, BHP pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak boleh memungut dana berlebihan dari masyarakat, maksimal 1/3 (satu pertiga) biaya operasional (pasal 41 ayat 8 dan 9). Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya membayar sesuai dengan kemampuan dalam pembiayaan (pasal 41 ayat 7). Ini karena seluruh biaya investasi, infrastruktur, alat, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan untuk pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi semuanya ditanggung pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 41 ayat 1, 3 dan 5).
Kelima, bagi BHP yang mengambil pungutan dari masyarakat lebih dari yang dibatasi, ada sangsi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian pelayanan dari Pemerintah atau pemerintah daerah, penghentian hibah, hingga pencabutan izin. Semenatara, bagi BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan, maka ia akan dikenakan sangsi dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)- pasal 63.

Ketentuan dalam pasal-pasal UU BHP tersebut menggambarkan bahwa BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan.
Sementara terkait dengan BHP sebagai badan yang profesional, karena dalam BHP ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut. Pertama, BHP diwajibkan memenuhi organ-organ yang di dalamnya terdiri atas berbagai unsur pengelolaan pendidikan, dengan dijelaskan secara rinci mengenai fungsi, tugas, peran dan struktur masing-masing organ tersebut (pasal 14-33).
Kedua, BHP memberikan peluang otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi (pasal 3). Yang berarti bahwa BHP diberikan keleluasaan dalam hal kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik (pasal 4 ayat 2).
Ketiga, BHP mengatur adanya akuntabilitas publik bagi yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, dan pendidikan tinggi, yang terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik (pasal 47). Akuntabilitas di sini bermakna kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 4 ayat 2 butir b).
Keempat, dalam BHP ada prinsip transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan BHP dalam menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan (pasal 4 ayat 2 butir c). BHP juga menekankan adanya pengawasan yang dilakukan melalui sistem laporan tahunan mengenai manajemen dan keuangan (pasal 48-54). Bahkan, laporan keuangan tahunan BHP pendidikan tinggi, harus diumumkan kepada publik melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan papan pengumuman (pasal 51 ayat 3).
Kelima, BHP mengatur SDM pendidikan yang terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan, yang dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan dengan membuat perjanjian kerja (pasal 55). Sehingga, status kepegawaian dalam BHP menjadi jelas dan ada kontrak untuk mencapai kinerja pendidikan.
Keenam, BHP dituntut agar dapat menjamin mutu dan kualitas pendidikan serta mampu memberikan pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan pendidikan melalui prinsip penjaminan mutu dan layanan prima. Sehingga, para pemangku kepentingan terutama peserta didik bisa merasakan kepuasan.
Dengan pendekatan nirlaba dan profesinal dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut, maka kita bisa menyimpulkan bahwa konsep pendidikan BHP tidaklah sama dengan BHMN yang selama ini dipandang terlalu komersil dan liberal dalam pendidikan. Kehadiran BHP justru akan mengoreksi keberadaa BHMN. Pasal 66 ayat 2 menegaskan, Perguruan Tinggi BHMN harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHP.
Implementasi UU BHP ini, selain pemerintah menyediakan dana yang cukup besar juga perlunya pengawasan semua pihak agar UU BHP ini dapat berjalan sesuai dengan harapan yaitu badan pendidikan nirlaba yang profesional. 
 
http://www.fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=6547&kunci=2
sumber:

Jumat, 02 Desember 2011